KEBUMEN, Purworejo24.com – Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menjadi momentum strategis bagi Angkatan Oemat Islam (AOI) untuk meneguhkan kemerdekaan bangsa di tengah ketidak percayaan masyarakat dan ancaman kembalinya penjajah. Meski telah merdeka, kondisi Indonesia saat itu masih rapuh, dan kesadaran masyarakat atas kemerdekaan masih rendah. Belanda pun memanfaatkan situasi ini melalui NICA untuk kembali menjajah.
Di sinilah peran Syekh Mahfudz Somalangu menjadi krusial. Di bawah kepemimpinannya, AOI menggalang konsolidasi berbagai lapisan masyarakat, terutama santri dan petani di wilayah Jawa Selatan, untuk mempertahankan kemerdekaan sekaligus membangun kesadaran nasional.
Pertempuran demi pertempuran pun dilakukan, mulai dari Perang Surabaya 10 November 1945, Pertempuran Lima Hari di Semarang, Pertempuran Ambarawa, hingga Perang Sabil Gombong pada 5 Agustus 1947, termasuk membantu Bataliyon Sudarmo merebut kembali Kebumen dari tangan Belanda.
Hal itu disampaikan Rektor Universitas Ma’arif Nahdlatul Ulama (UMNU) Kebumen, Dr. H. Imam Satibi, dalam Seminar Nasional bertajuk “Jejak Kepahlawanan NU dan Perjuangan Syaikh Mahfudz Somalangu dalam Meneguhkan Kemerdekaan Indonesia” yang digelar di Aula Aswaja UMNU Kebumen, Minggu 23 November 2025.
Selain pertempuran bersenjata, Syekh Mahfudz juga berjasa dalam melahirkan Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945. Bersama Hadratus Syaikh KH. Hasyim As’ary, ia berjuang meyakinkan kelompok muslim untuk mendukung PPKI yang memasukkan alinea 3 Pembukaan UUD 1945. Pada 1946, Syekh Mahfudz bersama AOI mempelopori bantuan kemanusiaan untuk rakyat India yang menderita kelaparan, mengirimkan 500.000 ton padi sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan.
Meski menghadapi kesalahpahaman dengan APRIS terkait kebijakan RERA pada masa RIS, Syekh Mahfudz tetap menekankan pentingnya kembali ke dunia pesantren bagi pasukan AOI yang tidak bergabung. Ia menegaskan AOI bukanlah pemberontak, dan tidak memiliki agenda mendirikan negara Islam, serta aktif mendorong reformasi dalam pembentukan Pancasila.
“Sosok Syekh Mahfudz bukan hanya ulama, tetapi juga ahli strategi militer, politik, ekonomi, dan intelektual. Kepemimpinannya menginspirasi santri, petani, dan pemuda untuk berjuang dengan semangat tinggi. Fatwanya ‘Dari pada mati sangit lebih baik mati syahid’ menjadi motivasi bagi pengikutnya,” ujar Dr. H. Imam Satibi.
Pemerintah Indonesia pun memberikan penghargaan kepada mantan pasukan AOI sebagai bentuk pengakuan terhadap perjuangan mereka, sekaligus rehabilitasi sejarah yang selama ini kurang diperhatikan.
Seminar ini merupakan kolaborasi strategis antara DPD RI, Nahdlatul Ulama, dan UMNU Kebumen, menghadirkan tokoh nasional, akademisi, serta pengasuh pesantren yang memiliki perhatian besar terhadap sejarah perjuangan ulama Nusantara. Hadir untuk membuka acara Wakil Bupati Kebumen H. Zaeni Miftah, dan Rois Syuriyah sekaligus Pengasuh PP Al Kahfi Somalangu, K.H. Afifudin Al Hasani.
Para narasumber yang tampil antara lain Ketua PPUU DPD RI Dr. H. Abdul Kholik, sejarawan UGM Prof. Dr. Arif Ahyat, Rektor UMNU Kebumen Dr. H. Imam Satibi, dan sejarawan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dr. Hj. Siti Maryam. Setiap narasumber mengupas secara mendalam peran ulama NU dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dengan fokus khusus pada sosok Syekh Mahfudz Somalangu.
Seminar ini menghadirkan peserta dari berbagai kalangan, mulai akademisi perguruan tinggi ternama seperti UPB Kebumen, IAINU Kebumen, UNIMUGO, UIN Saezu Purwokerto, UNU yogya, UNIGA Cilacap, STAINU Purworejo, Politeknik Ganesa Kebumen, UGM, UIN Surakarta, aktivis muda NU, santri, hingga masyarakat umum. Mereka menyimak materi dengan antusias, menggugah kembali semangat nasionalisme dan kesadaran bahwakontribusi ulama pesantren merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia yang selama ini kurang tercatat dalam literatur arus utama.(P24/adm).
Eksplorasi konten lain dari Purworejo24.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.







