Sesajen: Mistis atau Dialektis?

oleh -
oleh
Jolenan
Selamat Idul Fitri

Memaknai sesajen dalam tradisi Jolenan di Purworejo

 

Ratriastu Ruciswandaru

Ratriastu Ruciswandaru

*Mahasiswa S2 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

 

Sesajen, atau sering disebut sajen, berasal dari kata “sajian” yang merujuk pada makanan, kembang, atau bentuk lain yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan atau adat untuk simbol konektivitas dengan kekuatan gaib (KBBI, 2021). Sesajen merupakan prosesi ritual yang masih dijalankan di banyak daerah di Indonesia, termasuk di Desa Somongari, Purworejo, Jawa Tengah khususnya dalam tradisi Jolenan. Sayangnya, praktik ini juga memicu perdebatan antara keyakinan tradisional dan nilai-nilai agama. Oleh sebagian masyarakat, sesajen dianggap sebagai syirik yang bertentangan dengan prinsip agama, atau bersifat mistis karena menyangkut hal-hal yang tidak rasional. Tetapi, adakah ruang untuk melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas dan inklusif ? Atau, apakah kita harus mengkategorikan praktik sesajen sebagai tindakan tertentu secara mutlak? Seharusnya, kita memahami bahwa nilai-nilai dan praktik budaya dapat memiliki interpretasi yang beragam dan kontekstual.

 

Sekilas Makna Sesajen dalam Jolenan

Jolenan berasal dari “Jolen”, yang artinya “Ojo kelalen” atau dalam Bahasa Indonesia, “Jangan terlupa”. Istilah ini mengingatkan kita untuk selalu menghargai berkat yang diberikan oleh Tuhan YME. Acara Jolenan dimulai dengan pembacaan doa bersama, gotong royong membersihkan lingkungan desa, kemudian sesajen dipersembahkan di makam leluhur. Prosesi sesajen itu sendiri meliputi pembakaran kemenyan, penempatan sesajen, permohonan izin untuk tradisi Jolenan dan doa untuk arwah leluhur. Acara berlanjut dengan arak-arakan membawa “gunungan Jolen”, kerajinan bambu berbentuk limas segi empat yang berisi makanan dari hasil panen warga. Acara ditutup dengan pertunjukan tarian. Tradisi ini, yang dilakukan dua tahun sekali saat panen di Desa Somongari, Purworejo, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan penghormatan kepada leluhur.

 

Perspektif Psikologi Sosial

Dalam kajian psikologi sosial, perilaku individu tak hanya merupakan hasil dari faktor internal seperti pikiran dan emosi, tetapi juga merupakan manifestasi dari konstruksi sosialnya. Konstruksi ini dipengaruhi dan dibentuk oleh sejumlah faktor eksternal, seperti norma, nilai-nilai budaya, serta harapan sosial yang dianut oleh masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, cara berpikir seseorang sangat dipengaruhi oleh konteks budaya tempat mereka tumbuh dan berkembang. Pola kognitif, persepsi, serta penilaian individu adalah refleksi dari interaksi kompleks antara individu dan lingkungannya yang beragam. Memahami keragaman ini adalah kunci untuk menghindari jatuhnya ke dalam stereotip dan prasangka, termasuk saat kita menginterpretasikan praktek sesajen dalam tradisi Jolenan.

 

Pemikiran Dialektis

Pentingnya memahami keragaman pemikiran di antara budaya-budaya yang berbeda tak dapat diabaikan. Dalam studinya pada tahun 2019, dua peneliti psikologi kognitif, Hiroshi Yama dan Norhayati Zakaria, mengungkapkan perbedaan mendasar antara pola berpikir masyarakat Barat yang cenderung linier dan masyarakat Timur yang lebih condong kepada pemikiran dialektis. Pemikiran dialektis menerapkan prinsip holisme, perubahan, dan kontradiksi dalam kehidupan, yang akan saya jelaskan secara lebih rinci nanti. Yang pasti, prinsip-prinsip ini dapat membantu kita melihat praktik sesajen dari sudut pandang yang berbeda.

 

Prinsip Holisme, Perubahan dan Kontradiksi

Prinsip holisme menegaskan bahwa segala hal dalam dunia ini saling terhubung, cenderung berpikir dengan kognisi holistik yang mengacu pada pandangan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan tidak dapat dipahami secara terpisah atau terisolasi, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan. Prinsip holisme, dalam konteks tradisi sesajen, menuntun kita untuk melihat fenomena tersebut sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar. Tidak sekadar sebagai tindakan persembahan kepada arwah leluhur, sesajen dalam tradisi Jolenan merupakan representasi dari sistem kepercayaan yang melibatkan dimensi spiritual, sosial, dan historis. Ritual ini mempertegas keterkaitan intrinsik antara manusia, alam, dan pencipta, serta hubungan temporal antara masa lalu, kini, dan masa depan. Lebih dari sekadar ritual, persiapan sesajen yang melibatkan kolaborasi komunitas menunjukkan bagaimana keseluruhan masyarakat berpartisipasi aktif dalam menjaga keberlanjutan dan keseimbangan alam semesta.

Prinsip perubahan mengacu pada pemahaman bahwa semesta dapat terus berubah. Dalam hal ini, masyarakat meyakini bahwa keadaan seperti kondisi alam pun tidak selalu tetap, melainkan dapat berubah seiring waktu. Mengenai prinsip perubahan, tradisi Jolenan mengajarkan bahwa kehidupan adalah dinamis dan berubah. Masyarakat yang hidup dengan pola pikir dialektis ini memahami bahwa walaupun Tuhan memiliki rencana, intervensi-Nya bisa mengubah arah peristiwa. Fenomena alam seperti perubahan iklim dan cuaca juga diakui sebagai bentuk dari perubahan dalam alam semesta. Untuk masyarakat yang hidup dengan bertani, hal-hal yang bersifat alamiah ini bisa saja berubah menjadi lebih buruk sehingga mendatangkan bencana dan menghambat masa panennya meskipun mereka telah mengolah lahan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, dalam tradisi Jolenan, persembahan sesajen bukan hanya ungkapan rasa syukur, tetapi juga refleksi dari kesadaran kolektif masyarakat akan kerentanan dan dinamika kehidupan yang selalu berubah.

Prinsip kontradiksi menegaskan pentingnya mengenali dan mengakui adanya kontradiksi dalam kehidupan. Prinsip ini mengajarkan untuk menerima dan memahami adanya dualitas dan ketegangan dalam kehidupan. Masyarakat dialektis menyadari bahwa kontradiksi tidak perlu diselesaikan atau dihilangkan, karena terkadang, kontradiksi yang saling melengkapi bisa membentuk keadaan yang harmonis. Dalam konteks sesajen, keberagaman tradisi dan kepercayaan seperti Hindu dan Islam yang beriringan dalam tradisi Jolenan, menunjukkan bagaimana masyarakat mampu memadukan berbagai elemen yang tampak bertentangan menjadi satu kesatuan yang harmonis. Meskipun sesajen berasal dari tradisi Hindu, hadirnya ajaran Islam tidak kemudian langsung menghilangkan praktik tersebut, namun sebaliknya, tradisi tetap berakar dalam budaya asli dan terus berkembang. Secara praktis, dalam persiapan sesajen untuk acara Jolenan, masyarakat yang ikut berpartisipasi sadar bahwa setiap orang memiliki kemampuan, kelebihan, dan kekurangan yang berbeda. Mereka menghargai perbedaan ini dan mempromosikan sikap toleransi. Sumbangan, baik berupa materi maupun tenaga, dianggap sebagai kontribusi berharga tanpa memandang jenis partisipasinya. Masyarakat meyakini bahwa keunikan setiap individu patut dihormati dan diterima.

Perlu sudut pandang lebih luas

Tradisi Jolenan di Purworejo bukan sekadar sebuah ritual, melainkan representasi dari keberagaman budaya dan nilai-nilai agama. Untuk memahaminya, kita perlu melihatnya dari berbagai perspektif. Prosesi sesajen dalam Jolenan menunjukkan solidaritas masyarakat Timur, bagaimana masyarakat dengan beragam latar belakang dan keyakinan, dapat bersatu dan bekerja sama dalam mempertahankan dan merayakan warisan budaya. Hal ini mencerminkan prinsip pemikiran dialektis dan memperkuat kebersamaan serta toleransi di masyarakat. Partisipasi dalam sesajen membangun hubungan harmonis antar generasi dan mengakui keanekaragaman sebagai bagian dari kehidupan sosial. Sebagai warga negara yang berbudaya majemuk, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga keanekaragaman budaya yang menjadi identitas bangsa kita.*