WONOSOBO, purworejo24.com-Hidup ini memang ada sekian banyak keniscayaan juga ketidakpastian, pola pikir dan tindakan manusia adalah penentunya. Termasuk ketika harus berhadapan dengan sampah hasil karya manusia itu sendiri. Mencemari lingkungan, memantik bencana, diolah menjadi berkah. Semua senyatanya adalah pilihan.
Di Jawa Tegah Revolusi Hijau sedang digalakkan, salah satunya dengan mengubah sampah menjadi bahan bakar minyak yang bernilai ekonomi. Gerakan ini ini muncul sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan diharapkan menjadi contoh yang baik untuk mengatasi masalah sampah di Indonesia.
Isu sampah masih cukup menarik untuk dijadikan bahan obrolan. Seperti komoditas, sampah bahkan menjadi lazim jika disandingkan dengan kata impor dan ekspor, meskipun hanya antar daerah di suatu wilayah. Menumpuk, dibuang ke sana, ditolak disini. Polemik sampah ini menjadi tema abadi yang sulit untuk dipecahkan.
Dewasa ini, di Provinsi Jawa Tengah atau mungkin di wilayah lain di Indonesia mulai sadar bahwa sampah ini tidak akan habis karena diproduksi setiap hari, sebagai bahan baku untuk usaha, sampah seharusnya bisa menjadi berkah. Ide-ide itu kemudian mendorong semangat warga untuk bergerak, salah satunya di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara.
Di Desa Talunombo, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Wonosobo. Talunombo muncul membawa semacam solusi terkait permasalahan sampah, bahkan juga mengupas problema inti manusia yang kadang kerap dilekatkan sebagai sampah itu sendiri (sulit diatur, buang sampah sembarangan, melawan dan merusak alam).
Secara runtut, Talunombo seolah menjelaskan uraian makna dari larik-larik harapan manusia berikutnya, dari satu langkah ke langkah impian selanjutnya. Betul! tidak setiap kemauan mampu melecut semangat dan memantik kesadaran. Seperti manusia buntu, bingung memisahkan masalah baik dan buruk, hingga berujung sikap sukarela merelakan harapan ditelan lingkungan yang tak lagi asri dan mudah sekali dihinggapi bencana.
Seolah tahu betul wajah-wajah sampah yang setiap waktu bisa berubah, warga Talunombo menolak pesimisme sekaligus tidak mau dibuai optimisme tanpa tindakan. Saat di lain tempat, sampah menggunung dan bingung mau dibuang kemana, Talunombo kini justru kekurangan sampah.
Apa yang terjadi di Desa Talunombo bisa dijadikan segugus bangunan pengertian yang telah dianyam pelan-pelan. Tidak semestinya dirombak lagi, semua pihak harus peduli, khususnya pemerintah. Merubah sampah menjadi berkah adalah sebuah keniscayaan di Talunombo, bahan bakar alternatif dari sampah plastik, muncul dari program sederhana bernama Tempat Pembuangan Sampah, Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R).
Ide hebat ini kali pertama digagas oleh Badarudin berikut para penggiat lingkungan lainnya. Sampah plastik itu diolah menjadi bahan bakar minyak (BBM). Kemudian residunya bisa menjadi briket ramah lingkungan.
“Program ini lahir dari kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, sekaligus upaya mencari solusi bahan bakar alternatif di tengah gas langka. Kami melihat sampah atau limbah ini peluang. Apa yang tadinya dianggap tidak berguna, kini bisa menjadi sesuatu yang bernilai bagi kami,” kata Badarudin saat ditemui Kompas.com di lokasi pengolahan sampah Sabtu (19/4/2025).
Dijelaskan, setiap 50 kilogram sampah plastik bisa diubah menjadi 40-45 liter bahan bakar solar, diproses menggunakan mesin pirolisis, tidak hanya sampah plastik, tetapi juga bisa mengolah limbah minyak goreng (jelantah) dan oli bekas.
“Ide awalnya sebetulnya ketika muncul permasalahan di tengah masyarakat, limbah sampah yang menggunung itu mengalir ke lahan pertanian, melalui program TPS3R, kami menggandeng Badan Riset Inovasi Daerah (Brida) Provinsi Jawa Tengah untuk membuat mesin pirolisis di tahun 2022,” jelasnya.
Menurutnya, tahap awal sampah yang digunakan adalah sampah warga masyarakat desa, hingga kemudian mesin optimal beroperasi, Talunombo bahkan membeli sampah plastic dari berbagai daerah. Harganya Rp 500 per/kilogram.
Secara teknis, sistem kerja mesin pirolisis ini 12 jam menggunakan suhu 300 derajat celcius, sampah plastik itu diolah menjadi semacam cairan yang memuai kemudian disuling menjadi solar. Tidak langsung digunakan, hasil sulingan itu dicampurkan katalis, baru kemudian menjadi solar yang laik digunakan.
“Sementara ini sudah dijual dan permintaan sebetulnya cukup tinggi, namun kita keterbatasan plastik sehingga pengolahan terlambat tidak bisa setiap hari, harga solar dari plastic ini Rp 10.000 per liter, sementara waktu bisa digunakan untuk mesin traktor,” ujarnya.
Sekali produksi, kayu bakar yang digunakan untuk memasak biayanya mencapai Rp 200.000, itu akan menghasilkan Rp 40 liter dan jika diuangkan menjadi Rp 400.000. Artinya masih mendapat margin keuntungan sekitar Rp 200.000 sekali produksi.
“Jika ditanya harapan, kami dari desa sudah bergerak, tentu kami berharap ada dukungan dari semua pihak, apalagi ini kaitannya dengan kelestarian lingkungan yang kini juga menjadi fokus perhatian pemerintah pusat. Hajat hidup orang banyak,” ucapnya.
Berdasarkan data, masyarakat yang terlibat dalam program TPS3R ini ada 430 Kepala Keluarga (KK), output atau hasil produksi sejauh ini digunakan untuk traktor, juga para pengusaha penggilingan padi. Selain mengolah sampah menjadi solar, Talunombo tetapi juga membuat memanfaatkan residunya untuk briket, dan mengolah sampah organik di TPS menjadi pupuk organic. Muaranya adalah zero waste.
Zero waste adalah gaya hidup yang bertujuan untuk meminimalkan jumlah sampah yang dihasilkan, bahkan hingga mendekati nol, dengan salah satu prinsipnya menggunakan kembali atau mendaur ulang sampah menjadi berguna.
“Briket itu residu pengolahan solar, plastik, bisa dicampur tepung tapioka dengan perbandingan 3:1, setelah diaduk dicetak berbentuk bulat dan kota, kelebihan briket sendiri bisa tahan lebih lama, tentu saja ini bisa mengatasi kebutuhan masyarakat saat terjadi kelangkaan gas elpiji,” ungkapnya.
Ditandaskan, dari 50 kilogram plastic, bisa untuk membuat sekitar 1 kilogram briket, sehingga setelah terkumpul banyak baru proses pembuatan briket.
“Semua sampah menjadi bahan baku produksi kami, sampah organik juga kami olah menjadi pupuk, harganya Rp 18.000 per karung, TPS ini dikelola desa, yang mengelola kelompok swadaya masyarakat (KSM),” tandasnya.
Desa Talunombo dihuni oleh 725 KK, sebanyak 430 KK diantaranya sudah tergabung dalam program TPS3R. Kebutuhan sampah plastik di Talunombo mencapai 1,5 ton per bulan, harus impor dari luar daerah, Talunombo kehabisan sampah plastik. TPS3R Talunombo sendiri sudah digandeng Badan Riset Inovasi Daerah (Brida) Provinsi Jawa Tengah juga Badan Riset Inovasi Nasional (Brin).
BBM dari plastik bahkan dinyatakan nyaris sama seperti BBM yang beredar dipasaran. Sertifikat sudah dikantongi.
“Langkah yang kami ambil sedikit banyak hanya untuk menyadarkan masyarakat secara luas, bahwa sampah ini tanggungjawab bersama, tugas kita sebetulnya hanya cukup memilah dan memilih saja, selepas itu tidak ada masalah, semua bisa diolah dan bermanfaat,” tukasnya.
Hingga saat ini pihak desa juga masih mencoba menjajaki kerjasama dengan berbagai pihak untuk pengembangan program ini.
“Kami berharap program ini mendapat dukungan pemerintah daerah, minimal menjadi role model untuk desa-desa lain,” katanya.
“Kalau ada bantuan alat dan pelatihan, kami yakin bisa memproduksi dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang lebih luas,” harapnya.
Salah satu warga Desa Talunombo, Budi Santoso senang dengan langkah inovatif Pemdes ini, program yang membawa dampak positif bagi masyarakat desa, khususnya mampu menciptakan bahan bakar alternatif yang lebih terjangkau.
“Kami sangat mendukung kegiatan ini. Kalau bisa diproduksi secara massal, lebih banyak warga yang akan merasakan manfaatnya,” papar Budi.
Menurut Budi, inovasi ini sejalan dengan visi Desa Talunombo untuk menjadikan desa yang mandiri dan berkelanjutan. Pembuatan BBM solar dari plastik dan briket dari residu sampah juga sejalan dengan visi pemerintah Indonesia dalam swasembada energi.
“Kami ingin Talunombo ini dikenal sebagai desa peduli lingkungan dan terus berinovasi untuk masyarakat, juga mendukung program pemerintah berswasembada energi dan pangan,” ujarnya.
Selain membantu warga, program ini juga menjadi solusi atas permasalahan sampah (plastik) yang selama ini sulit diatasi. Limbah yang sebelumnya mencemari lingkungan kini diubah menjadi sesuatu yang berguna.
Langkah Desa Talunombo ini menjadi bukti bahwa pengelolaan sampah yang tepat dapat memberikan manfaat besar. Desa yang sebelumnya memiliki masalah limbah kini justru menjadi pelopor inovasi energi ramah lingkungan yang berkontribusi pada pembangunan desa yang lebih mandiri dan berkelanjutan.
Setidaknya apa yang disampaikan Budi dan Kepala Desa Talunombo diamini oleh warga yang kebetulan tinggal di dekat TPS3R. “Dulu, baunya luar biasa menyengat. Tapi sejak ada teknologi pengolahan ini, baunya sudah hilang. Saya bahkan senang karena limbahnya juga tidak mencemari air sumur,” ucap Ahmad warga lainnya.
Tidak hanya menghilangkan bau dan polusi atau pencemaran lingkungan lainnya, program ini juga bernilai ekonomi. Program ini sangat membantu ekonom warga yang bekerja di sini ataupun Masyarakat yang menjual sampahnya.
Sampah yang awalnya dilihat sebelah mata, mencemari lingkungan dan memunculkan permasalahan sosial di tengah masyarakat seolah menghilang, bahkan kurang-kurang.
Desa Talunombo menjadi desa yang asri, warganya berdampingan dengan alam, saling menjaga untuk keberlangsungan hidup, tentu saja lebih tertata, akselerasi yang baik antara manusia dengan alam yang lestari.
“Dulu sampah sering berserakan di pinggir jalan, pelanggan saya juga kadang mengeluh soal bau. Tapi sekarang masalah itu hilang. Ini solusi yang sangat baik untuk lingkungan dan kami nyaman tinggal di sekitar sini,” ungkap Ahmad
Sementara itu, semangat senada juga muncul di Desa Kasilib, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Mulai tahun 2014 warga sepakat mendirikan bank sampah dengan mengantongi izin dari Pemkab (Dinpermades) dan Polres setempat. Seiring perjalanan waktu, semua jenis sampah yang di tampung di bank sampah menumpuk, khususnya rongsok dan plastik. Tahun 2017 sampah menggunng hingga 7 ton.
Salah satu solusinya yakni membuat mesin pirolisis di awal tahun 2018. Mesin pirolisis pertama mengalami kegagalan atau banyak kendala. Sebanyak 50 kilogram sampah plastik setelah diproses hanya menghasilkan kurang lebih 7 liter BBM saja. 2019 dilakukan inovasi mesin lagi dan masih gagal. Hingga inovasi di akhir tahun 2021 hadir mesin Pirolisis Gen 4.
“Mulai 2019 hingga 2021 Covid datang, waktu itu kami gunakan fokus untuk inovasi. Selesai tahun 2021. Alhamdulillah mesin Pirolisis Gen 5 sudah sangat efektif. Awal tahun 2022 kami bahkan mulai dilirik Baperlitbang, dikenalkan dengan Brin yang kemudian berkunjung langsung di tahun 2022,” ucap pengelola bank sampah Desa Kasilib, Toha, (44).
Diungkapkan, akhir tahun 2022, BRIN ambil sampel untuk uji coba, dibantu Pemda Banjarnegara. Usai uji coba, output dari mesin pirolisis produk dari bank sampah banjarnegara dinyatakan sesuai dengan standarisasi pemerintah.
“Sudah setara solar, ketika dipakai cetane number dan cetane index. Cetan number kita sudah di 54,2 padahal standarnya nasional dari pemerintah itu minimal 48. Sementara Cetane indek kita itu 65, sementara persyaratan dari pemerintah itu 45. Saat kami mengurai sampah plastic seberat 250 kg mampu menghasilkan kurang lebih 70-80 % tergantung kondisi bahan baku sampah. Kalau bahan baku kering dan bersih bisa sampai 80 persen,” ujarnya.
Dijelaskan, ada 4 mesin pirolisis gen 5 yang dioperasikan, tiga mesin dengan kapasitas 50 kg per hari dan satu mesin kapasitas 100 kg per hari. Bahan baku plastik 50 kilogram bisa menghasilkan BBM 30-40 liter. Langkah ini mendapat dukungan penuh masyarakat. Memang, jauh hari mereka sudah mendapat sosialisasi. Setiap warga di perumahan kini sudah jago urusan memilah sampah, sampah plastic akan dibeli oleh bank sampah Banjarnegara, harganya Rp 1.200 per kilogramnya.
Founder bank sampah Kasilib, Budi Tresno Aji menambahkan, mesin Pirolisis Gen 5 juga diproduksi dan dijual, sejauh ini sudah ada sekitar 60 mesin telah terpasang di seluruh titik di Indonesia, menjalar hingga ke luar Jawa.
“Ada beberapa kapasitas, untuk UKM bisa menggunakan kapasitas 30 kg per hari dan 50 kg per hari. Kapasitas 30 kg per hari Rp 65 juta, sementara kapasitas 50 kg/hari Rp 95 juta,” imbuhnya.
Budi berharap, apa yang sudah diupayakan bisa menjadi salah satu solusi penanganan sampah dari hulu.
“Harapan kami nanti di setiap kecamatan bisa mengaplikasikan mesin kami ini, sehingga sampah dari warga terutama sampah non organik yang susah terurai bisa diselesaikan di hulu tidak sampai ke hilir,” harapnya. (P24/bayu)
Eksplorasi konten lain dari Purworejo24.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.